Genjot Pasar dengan Community Marketing

Membangun komunitas menjadi strategi pemasaran baru. Menobatkan mereka sebagai ujung tombak pemasaran dengan mengandalkan promosi dari mulut ke mulut. Bekalnya adalah loyalitas dan komitmen pada produk.

Puluhan ribu wanita menyesaki jalanan San Francisco di sebuah akhir pekan yang cerah. Bukan sedang berdemonstrasi, melainkan tengah bersiap untuk mengikuti lomba lari dengan jarak tempuh 42,2 km. Sebuah lomba yang bukan biasa, karena wajah mereka tak menyiratkan ketegangan sedikitpun. Mereka bahkan terlihat ceria dan bercengkrama dengan yang lainnya.

Memang bukan lomba biasa, karena Nike Inc., si pemilik hajat tengah berupaya merangkul banyak kalangan dari berbagai penjuru dunia untuk berbagi kebersamaan dan keceriaan. Tak ada pemenang atau pecundang. Sebab, di titik 42,2 km itu, setiap pelari memperoleh hadiah kalung dari Tiffany, sebuah simbol mewah sebagai penghargaan bagi mereka yang berhasil memompa semangat dan kekuatan fisiknya sampai garis finish.

Di malam sebelumnya, perempuan-perempuan ini dibuai dalam sebuah pesta khusus yang menyuguhkan minuman, appetizers, dan hadiah kejutan. Mereka juga dapat memanjakan diri dengan pijat dan manikur gratis di Nike Expotique, semacam galeri milik Nike. Mereka juga dapat melakukan konsultasi kebugaran, mengikuti seminar tentang training dan gizi, bahkan menikmati sentuhan penata rambut dan perias wajah.
Moment akbar yang digelar setiap tahun ini melibatkan peserta yang dipilih secara acak dari seluruh penjuru dunia. Nike berupaya menjamu dan menyebarkan kenangan manis kepada setiap orang yang ditemuinya. Dengan demikian, kami pun industri perlengkapan olah raga asal Beaverton, Oregon, ini telah membangun barisan brand ambassadors yang loyal dan penuh komitmen terhadap merek Nike sekaligus menjadi ujung tombak pemasar baru lewat promosi dari mulut ke mulut.

Nike tampaknya bukanlah satu-satunya perusahaan yang memanfaatkan ”people power” untuk kepentingan bisnisnya. Akses internet yang memudahkan banyak kalangan untuk membentuk komunitas telah menginspirasi kalangan industri untuk merangkul komunitas. Kerumunan massa inilah yang diharapkan dapat masukan untuk pengembangan produk dan jasa sekaligus menjadi elemen pemasar baru guna mendongkrak pasar.

Produsen komputer seperti Dell Inc. Juga merangkul komunitas pelanggan dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh suara mereka. Untuk itu, Dell meluncurkan portal IdeaStorm.com untuk menampung segala saran pelanggan. Industri komputer asal Roun Rock, Texas, ini tampak begitu mendengarkan dengan sepenuh hati terhadap masukan pelanggannya. Hasil dari umpan balik tersebut, Dell meluncurkan komputer dan notebook berbasis Linux pada 2007 lalu.

Amazon yang dikomandani Jeff Bezos juga memanfaatkan umpan balik dan masukan dari komunitas pelanggannya untuk meningkatkan kualitas produk maupun layanan mereka. Buktinya, Amazon mampu menawarkan berbagai fitur yang membuat khalayak kian loyal, termasuk biaya pengiriman gratis. Loyalitas yang meningkat ini secara tidak langsung membuat order rata-rata pelanggan meningkat dan mendongkrak skala ekonomi Amazon sehingga laba perusahaan melejit.

Laba yang lebih besar ini, memungkinkan Bezos menawarkan fitur layanan baru yang memudahkan pembeli mendapatkan barang yang diinginkannya. Tak hanya itu, laba yang lebih besar juga mempermudah pengembangan teknologi yang memungkinkan Amazon mengumpulkan dan mengelola informasi tentang pelanggannya yang mencapai puluhan juta itu. Data ini selanjutnya memberikan masukan kepada Bezos & Co. untuk memberikan layanan baru sesuai dengan keinginan pelanggan.

Merek sabun dan produk kebersihan milik Unilever, Dove, juga tak mau ketinggalan.Pada Desember 2007, Dove meluncurkan film mini bertajuk Evolution yang langsung dapat menyedot perhatian 5,5 juta penonton di YouTube. Video yang cuma berdurasi 74 detik ini menceritakan bagaimana seorang model yang biasa-biasa saja yang disulap menjadi model nan seksi di billboard.

Di situ bukan cuma diperlihatkan proses make-up sang model, tapi juga manipulasi gambar dengan PhotoShop dan ujungnya ditutup dengan komentar, “No wonder our perception of beauty is distorted.” inilah yang ditafsirkan sebagai bentuk dialog tentang kecantikan yang di prakarsai Dove. Dengan pendekatan ini, Dove dianggap mampu menempatkan diri sebagai bagian penting dalam kehidupan pelanggan sehingga masyarakat luas menyambut produk ini.

Hal ini diakui profesor pemasaran dari Wharton School of Business, Christophe Van den Bulte. Menurutnya, interaksi secara langsung dengan pelanggan, baik melalui blog atau media online lainnya akan memberikan dua keuntungan kepada perusahaan. Pertama, interaksi tersebut bisa menjadi market research tool, perusahaan dapat masuk ke pelanggan dan menemukan apa yang jadi perhatian dan keinginan mereka. Kedua, sebuah industri dapat memprofilkan diri sebagai perusahaan yang bekerja bersama pelanggan, bukan sekadar ingin memengaruhi keputusan belanja mereka.

Di saat yang sama, kepuasan yang dialami pelanggan terhadap sebuah produk akan meningkatkan antusiasme, bahkan keterlibatan yang besar terhadap sebuah merek.Mereka tak lagi semata pelanggan, tapi telah menjelma menjadi komunitas “fansumers”. Kelompok orang yang tak hanya mengkonsumsi, tapi juga menggemari sebuah produk. Jika sudah demikian, sebuah produk akan menjadi identitas baru sekaligus sebuah pernyataan diri tentang penggunanya.
Berkomentar dengan
atau
silahkan tentukan pilihan sobat!

0 komentar:

Post a Comment